Oleh: Achmad Nur Hidayat (Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute)
Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pada periode Mei 2022 kembali mencetak surplus. Besarannya adalah Rp 132,2 triliun atau 0,74% terhadap produk domestik bruto (PDB)
“APBN kita kembali surplus Rp 132,2 triliun. Tahun lalu kita defisit Rp 219 triliun,” kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (23/6/2022)
Belanja negara mencapai Rp 938,2 triliun (34,6%), terdiri dari belanja Kementerian Lembaga (KL) Rp 319,2 triliun (33,7%), belanja non KL Rp 334,7 triliun (33,5%) dan transfer ke daerah dan dana desa Rp 284,3 triliun (36,9%).
Sementara itu penerimaan negara mencapai Rp 1.070,4 triliun (58%) atau tumbuh 47,3.
Penerimaan pajak mencapai Rp 705,82 triliun (55,8%). Terdiri dari PPh non migas mencapai Rp 418,7 triliun, PPN dan PPnBM Rp 247,82 triliun, PBB dan pajak lainnya Rp 3,26 triliun dan PPh Migas Rp 36,04 triliun. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 224,1 triliun (66,8%). Besarnya PNBP ditopang oleh penerimaan dari sektor komoditas. Kepabeanan dan cukai mencapai Rp 140,3 triliun (57,3%).
Pembiayaan utang turun drastis, yaitu 72,5% dibandingkan periode yang sama 2021. SBN neto mencapai Rp 75,3 triliun atau 7,6% dari total Rp 991,3 triliun. Sedangkan pinjaman mencapai Rp 15,7 triliun.
“Kita memiliki kas lebih Rp 215,5 triliun,” pungkasnya.
Dengan surplusnya APBN ini maka sesungguhnya wacana pemerintahan untuk menaikkan BBM mesti dibatalkan. Karena kenaikan harga BBM ini akan semakin menyengsarakan masyarakat yang secara ekonomi masih terdampak akibat pandemi dan inflasi yang terjadi.
Masyarakat pun memiliki hak untuk dapat merasakan surplus APBN yang ada. Jangan hanya segelintir orang saja yang menikmati dari surplus APBN yang ada saat ini berupa proyek-proyek mercusuar yang dijalankan oleh pemerintah tapi surplus ini haruslah dapat dinikmati seluas luasnya masyarakat Indonesia salah satunya dengan tidak menaikkan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik.
0 Comments