“Babad Baturetno”, Kajian Sejarah Atas Budaya Literasi

Jul 30, 2021 | Essai

Ide untuk tetap terus menumbuhkan budaya literasi di tengah masyarakat kita, selain menjadi “tugas suci” kaum cendekiawan juga adalah warisan peradaban luhur yang harus terus dipertahankan.

Budaya literasi secara umum ditandai sebagai seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Menumbuhkembangkan budaya literasi di tengah-tengah masyarakat, terlebih pada abad teknologi digital sekarang, menjadi keniscayaan yang harus terus dikawal dari setiap anak bangsa.

Pentingnya menjaga budaya literasi juga karena bangsa Indonesia dikenal mempunyai minat baca yang rendah. Hanya 0,001 persen dari setiap penduduk. Artinya, dari 1000 orang penduduk hanya 1 orang yang mempunyai minat baca tinggi. Maka dapat dikatakan dari segi tradisi intelektual era modern sekarang bangsa kita tergolong terbelakang dibanding suku bangsa maju lainnya. Bagi bangsa-bangsa sadar literasi dan maju, kegiatan membaca ibarat satu tarikan nafas dengan aktivitas lain dalam kehidupan sehari-hari.

Hasil survei pada 2019 yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tingkat literasi masyarakat Indonesia tergolong sangat rendah. Hanya menempati ranking ke 62 dari 70 negara, atau berada pada 10 negara terbawah. Lain lagi dari hasil riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016, Indonesia menduduki peringkat ke 60 dari 61 negara soal minat membaca. Suatu peringkat yang amat buruk dan amat memprihatinkan.

Itu baru budaya baca yang merupakan salah satu mata rantai dari budaya literasi. Dari perspektif budaya tulis menulis, akan lebih sulit jika harus menyebut betapa susahnya orang Indonesia modern umumnya untuk memformulasikan gagasan atau ide-ide ke dalam bentuk tulisan. Padahal, sejarah literasi di kurun waktu terdahulu bangsa Indonesia telah menghasilkan karya karya agung literasi di berbagai suku dan daerah. Sebut saja di abad-abad lalu bermunculan karya-karya adiluhung dari para pemikir, rohaniwan dan sastrawan kerajaan Nusantara. Mulai dari warisan luhur karya sastrawan Mataram Islam seperti Babad Tanah Djawi, Serat Kandha, Serat Centini, Serat Cabolek, Serat Dharma Wirayat, Babad Sangkala, Serat Nitipraja, dan Sadjarah Dalem.

Para pemikir, rohaniwan dan sastrawan Kerajaan Aceh juga mempunyai segudang karya seperti pada masa Sultan Iskandar Tsani, “Bustanussalatin” karya Nuruddin Ar Raniry, Tajussalatin, hikayat Raja-Raja Pasai, dan hikayat Malem Diwa yang merupakan warisan karya sastra prosa liris.

Begitupun “Babad Raja-Raja Riau” dan karya Hikayat Siti Mariah, “Tuhfat al Nafis” karya Raja Ali Haji, Babad Demak, ataupun karya-karya masterpiece para sastrawan Minang seperti “Sabai nan Aluih”, “Siti Nurbaya”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”, dan karya pemikir negarawan Minang Tan Malaka “Madilog”, “Gerpolek” dan “Menuju Merdeka 100 Persen”. Tak ketinggalan warisan karya sastra para pujangga daerah lain di Indonesia yang terlalu panjang jika diuraikan di sini.

Satu hal yang dapat ditarik hikmah dari benang merah kejayaan karya sastrawi masa lalu di Indonesia adalah, adanya warisan luhur bak tinta emas dalam setiap karya tersebut. Karya-karya yang mengagungkan warisan yang penuh adab, kaya penghargaan kepada etika dan tatakrama, serta hampir semuanya merupakan karya-karya berkelas, mempunyai posisi dan penghargaan strata tinggi di mata penguasa kerajaan ataupun masyarakat pada umumnya.

Karya-karya pujangga besar abad 19 Ronggowarsito (14 Maret 1802–24 Desember 1873) seperti “Serat Hidayat Jati”, “Serat Ajidarma Tuwin”, “Serat Ajinirmala”, “Serat Suluk Sukmalelana”, “Serat Jaka Lodhang”, “Serat Jayengbaya”, “Serat Pawarsakan”, “Serat Kalatidha”, dan “Serat Witaradya”, mempunyai posisi terhormat di mata pembesar Kasunanan Surakarta dan dianggap sebagai karya besar terakhir pujangga tanah Jawa. Begitupula karya-karya para sastrawan Aceh, Minang dan lain-lain. Dalam pandangan khalayak, karya karya tersebut bak rangkaian tinta emas yang diagungkan, dipelihara, dituturkan dan dibaca secara turun temurun dalam setiap peralihan generasi. Begitupun penghormatan terhadap karya pujangga Kerajaan Kediri Jayabaya, Kitab “Asrar (Musarar)” karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3).

Bagi generasi Indonesia modern yang mengalami degradasi peringkat dunia dalam budaya baca tulis saat ini, rangkaian ratna mutu manikam dalam sejarah literasi bangsa Indonesia tersebut tentu saja menjadi sesuatu yang sangat menyengat harga diri bangsa. Beruntungnya, dalam beberapa tahun terakhir ada perbaikan kinerja signifikan dalam penerbitan jurnal-jurnal ilmiah perguruan tinggi di tanah air yang disebutkan telah berhasil menempati peringkat kedua di Asia Tenggara pada 2020, (Okezone).

Namun secara umum, peringkat memalukan budaya baca semestinya segera disikapi segenap anak bangsa yang concern terhadap perkembangan budaya literasi di Indonesia. Tak terkecuali dunia jurnalistik di tanah air.

Sejak merebaknya konglomerasi media paska reformasi, dunia pers tanah air bisa disebutkan mengalami degradasi kualitas karya jurnalistik di tengah marak-tumbuhnya berbagai penerbitan online saat ini. Untuk tidak menyebutkan degradasi kualitas yang sama dari dunia penyiaran elektronik/layar kaca.

Dunia pers yang semestinya menjadi salah satu ujung tombak pengawalan terhadap demokrasi, tergerus parah oleh kepentingan dangkal materialisme bisnis yang hanya mengagungkan pengejaran peringkat/rating penayangan. Hanya untuk memikat masuknya iklan atau promosi yang memperkaya pundi-pundi kas pemilik media. Maka tanpa mengindahkan etika dan kinerja karya, bertaburanlah pemberitaan dan tayangan layar kaca mengecewakan (seorang sahabat menyebutkan karya-karya banal) dalam dunia pertunjukan dan media di tanah air. Ada yang bahkan terjebak pada penyajian berita hoax tanpa adanya cek dan ricek memadai. Belum lagi menyebut adanya penghormatan terhadap kaidah penulisan pers. Beberapa warga menyatakan tak pernah lagi menonton siaran televisi. Terbayang betapa mengecewakannya sajian media layar kaca saat ini.

Tentunya dari gambaran tersebut, menjadi tantangan tersendiri bagi insan pers yang sadar diri sadar kualitas dan sadar sejarah agung literasi bangsa, untuk sekuatnya bersatu padu bergandengan tangan. Bersinergi untuk mengembalikan harkat martabat dunia penyiaran dan dunia pers tanah air. Kata tinta emas, junjung tinggi adab, etika dan hasilkan karya-karya berkelas seperti para pendahulu anak bangsa harus menjadi “mercu suar” untuk mengembalikan jatidiri literasi bangsa.

Dari Pojok Baturetno, 01 Agustus 2021
Oleh: Pril Huseno

Baca Juga

0 Comments

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This