Judul Tulisan di atas memang terkesan klasik. Ayah, barangkali sudah ratusan kali digunakan sebagai sebutan nama untuk judul film, novel, lagu, esai, atau apapun yang mengisahkan tentang sosok Ayah, figur istimewa dalam kehidupan anak-anak. Penulis hanya ingat judul lagu “Ayah” oleh Rinto Harahap dan Ebiet G Ade yang terus saja dilagukan dengan segenap haru oleh semua kalangan di Indonesia.
Selain Ibu, figur Ayah adalah sosok istimewa lain yang menjadi pasti menjadi idaman, harapan tempat bergantungnya anak ketika bertanya sesuatu, kawan ceria ketika bercanda dengannya, bermain bola bersama, berenang, jalan-jalan sambil digendong belakang punggung oleh Ayah – hal yang paling disuka anak-anak – main “beranteman” hingga ujungnya diangkat gendong dan dipeluk olehnya. Dan banyak lagi. Sosok superhero itu, di mata anak adalah sosok superkuat, gentleman, tegas, teguh memegang prinsip, pantang menyerah, tapi lembut dan kasih sayang tiada tara kepada istri dan anak-anaknya.
Di Hari Ayah 12 Nopember ini, penulis sesaat harus mengheningkan cipta sambil mengirimkan doa Al Fatihah dan mohon ampunan bagi almarhum Ayah sebelum memulai tulisan. Begitupula selama ini yang dilakukan jika tetiba teringat mendiang Ayah-Ibu, dan adik bungsu yang wafat ketika baru saja lahir.
Ayahku, pemuda Aceh yang dengan tekad keras pada awal tahun 60-an pergi merantau ke Jakarta dengan beberapa kawannya, hal yang jamak dilakukan oleh banyak kaum muda urban untuk mencari penghidupan baru di Ibukota. Sebagai pemuda desa yang taat, di manapun tak pernah tinggal sholat, dan teguh memegang amanah. Keras hati, sikap yang ditunjukkannya ketika kawan seperjalanan ciut nyali ketika sampai di Medan dan memutuskan untuk balik ke Aceh, tapi Ayah menyatakan, walau langit runtuh Jakarta akan dipijaknya.
Berani dan pantang menyerah, mungkin adalah sifat yang diturunkan kakekku kepada Ayah. Kakekku, Sang Syahid yang gugur ditembak Belanda ketika Jepang masuk pada 1942. Sebagai ulama kampung, Kakek begitu bencinya dengan penjajah. Jepang masuk Aceh Selatan dan Belanda mengungsi. Namun di tengah jalan berpapasan dengan almarhum kakek, seketika terjadi clash singkat entah karena kakek melawan ketika hendak diperiksa, dan Belanda kewalahan hingga kemudian langsung saja mengeksekusi Kakekku alm. Teungku Usman di Blangpidie, Aceh Barat Daya sekarang. Jenazah Kakek kata riwayat dibuang ke sungai dan baru ditemukan penduduk desa tiga hari kemudian. Innalilahiwainnailaihi rojiuun.
Sikap keras dan pantang menyerah itulah yang akhirnya mengantarkan Ayah menginjakkan kakinya di Ibukota sekitar tahun 1962. Situasi politik Indonesia kebetulan sedang panas-panasnya karena orang-orang komunis (PKI) sedang garang-garangnya kepada pihak yang menentang. Ayah, pemuda muslim taat tentu saja ikut dalam gelombang hiruk pikuk politik. Di samping sibuk mencari nafkah, Ayah juga selalu mengikuti berita-berita ihwal perseteruan kaum komunis dengan kaum agama terutama umat Islam. Pada satu ketika, berkelahilah Ayahku dengan sorang pemuda yang menghina sholatnya umat Islam di kawasan Senen. Dikejarnya komunis itu setelah beradu tinju hingga lawannya lari. Dan itu dilakukan sampai menginjak-injak kap mobil orang. Perkelahian yang seru. Tapi itulah sikap ideologis Ayah sebagai pemuda Islam.
Hingga pecah Gestapu 1965, Ayah malah jadi pelopor pemuda di kawasan Jatinegara. Rumah kami menjadi posko konsumsi bagi laskar Yon Soetoyo. Laskar-laskah pemuda anti komunis yang dibentuk di lima wilayah DKI Jakarta dengan mengambil nama-nama pahlawan revolusi. Tak heran, Ayah juga sering kedatangan tamu anak-anak muda baret merah Kopassus yang sudah seperti adik-adiknya. Ketika Ayah wafat pada 1984, salah seorang prajurit Kopassus senior tidak tahu bahwa Ayahku sudah mangkat. Beberapa waktu kemudian prajurit itu datang main ke rumah, dan tidak percaya kalau “abang”nya sudah meninggal hingga hanya bisa terduduk sedih di kursi ruang tamu. Baginya, sosok Ayah adalah panutan.
Darah kejuangan itulah yang penulis pikir juga menurun pada anak-anaknya. Sampai sekarang masih heran juga kenapa diri ini jadi selalu bergelegak jika menemui hal-hal yang mengusik hati nurani.
Ayah, juga seorang olahragawan. Piawai badminton hingga jadi juara 3 se DKI dalam single putra. endurance – daya tahan staminanya terutama napas, amat mengagumkan. Lawan biasanya digiring model Icuk Sugiarto main dengan lob-lob panjang hingga megap-megap kehabisan napas. Lalu, dengan beringas Ayah “habisi”, gameover. Tidak salah, Ayah rajin sport di kawasan rumah dengan sprint bolak balik di jalnanan menanjak setiap pagi. Sesuatu yang “alamakk” tak sanggup penulis lakukan sekarang. Di PBSI pusat dan Jakarta timur, nama Ayah mengukir sejarah. Lius Pongoh dan Amril Nurman, kawan akrabnya.
Tapi wahai, keperkasaan Ayah harus tumbang ketika leukemia mendera. Sempat satu tahun menjalani pengobatan, Ayahku akhirnya menyerah di RS Cipto Jakarta. Penulis tidak menangis ketika Ayah dalam proses berpulang. Hanya menatapnya penuh kesedihan sambil menggenggam tangannya seperti orang bersalaman dan ingin mengucapkan “selamat jalan Ayah”. Ibu sudah menangis ketika itu. Begitu pula ketiga adikku. Namun, diperjalanan pulang di atas sepeda motor penulis menangis sejadinya. Tidak ada yang tahu dan segera menghentikan tangisan ketika sampai di rumah. Penulis tidak ingin ibu dan adik-adik lihat bahwa abangnya menangis. Itulah salah satu sikap yang menurun dari Ayah yakni tanggungjawab sebagai anak tertua. Masih tingkat dua kuliah di Jogja.
Ayahku adalah sosok yang membentuk karakter diri dan cara pandang hidup. Sikap disiplin, berani dan bertanggungjawab, juga tegas.
Selamat jalan Ayah, terimakasihku. Sosokmu tak tergantikan. Masih kadang timbul rindu kepadamu. Mencium hangat bau tubuhmu, tertawamu dan caramu memandang ketika marah. Semuanya adalah pelajaran berharga. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan kasih sayangNya kepadamu, Ibu dan juga adikku Hamzah. Aamiin. (017)
0 Comments