Saat ini, peta kekuatan dunia disebelah kanan mulai terlihat terseret perlahan ke arah kiri. Belahan kirinya juga menjadi moderatif bergeser ke kanan. Terlihat garis pendulum dunia tidak lagi berbunyi “dunia mengarah ke kiri jauh atau mengarah ke kanan jauh, tapi ke tengah”, itulah gambaran dunia abad 21 ini.
Kesombongan para pembela kapitalisme kanan mulai mendapat tentangan, bukan dari luar tapi dari jantung sistemnya sendiri.
Para anak konglomerat itu mulai muak melihat kemegahan yang berawal keserakahan, kehidupan glamour para pendirinya, banyak kaum mereka memilih hidup minimalis, esketis dan keras ikut bersuara tentang kerusakan lingkungan atas eksploitasi buruh dari perangai korporasi kapitalis milik senior mereka, banyak dari mereka temukan nilai nilai baru yang sama sekali berbeda dengan orang tua mereka.
Anak muda pewaris perusahaan konglomerasi kapitalis mulai merintis model baru dari bisnis, yaitu perusahaan sosial yang ingin terapkan tiga pilar penting “menjaga planet, profit, memanusiakan manusia”.
Bill Gates, orang kaya raya ini mulai katakan pada dunia bahwa kekayaan wajib dipajaki.
Bernie Sanders, kandidatur presidensi Amerika Serikat dalam masa kampanye yang lalu juga sempat populer karena ingin menerapkan kebijakan kepemilikan saham bagi buruh secara demokratik jika dirinya terpilih, mewujudkan Undang Undang kepemilikan saham bagi buruh yang masih mengacu sistem minimal tidak lebih dari 20 persen, seharusnya bisa dinaikkan menjadi 51 persen proporsinya di perusahaan.
Joseph Stigliz, penerima Nobel ekonomi juga memberi saran agar perusahaan kapitalis melakukan koreksi demi keberlanjutan dari bisnis mereka sendiri.
Bahkan mulai menyeruak berbagai penetrasi tuntutan konsumen. Setidaknya suara mereka diperhitungkan dalam meja pengambilan keputusan perusahaan, dan tidak selalu menjadi obyek.
Begitu banyak ide dan gagasan para netizen yang mulai berani menggugat sistem perampokkan ekstraksi data. “Era big tech dan ekonomi digital saat ini”.
Kebijakan pemerintah di banyak negara, beberapa dekade terakhir mulai bergeser kearah konsep negara kesejahteraan “welfare state”. Kebijakan progresif di beberapa negara maju yang memaksa korporat kapitalis untuk membayar pajak keuntungan hingga 75 persen telah berjalan. Bertujuan untuk alokasi fiskal demi tujuan promosi sosial untuk anggaran publik seperti kesehatan, pendidikan, pensiun dan lain lain.
Apa yang terjadi dengan dunia kiri?
Negara komunis yang telah berpuasa lama dalam keterasingan pergaulan dunia. Dominasi kuat oleh trimatra Washington Concensus “deregulasi, liberalisasi, privatisasi”. Secara bertahap menerapkan kebijakan kebijakan adaptif memberikan kebebasan kreasi dunia bisnis dengan kadar kontrol negara sedikit longgar. Rusia dan China sudah membuktikan.
Sistem sosialis ortodoks seperti gerakan koperasi “sistem demokrasi totaliter kekuasaan, satu orang satu suara untuk konsumen, para pekerja juga terlihat mulai bergeliat mengusulkan skema kepemilikan seluruh pihak, tidak melulu investor tapi juga libatkan kepemilikan perusahaan oleh pekerja dan bahkan konsumennya”. Ide ini telah mempertemukan kelayakan bisnis, afeksi sosial dalam konsep koperasi multipihak (multi stakeholder cooperative).
Bagaimana Indonesia?
Transformasi besar dunia, sepertinya akan lambat bagi Indonesia. Beberapa sudah ada tanda-tanda perubahan dari kesadaran kecil dari anak anak muda bahwa keserakahan, kesenjangan telah merusak dan perlunya penyelamatan sosial juga lingkungan. Seharusnya anak anak konglomerat bisa jadi pemain tedepan, jika tidak akan terlambat terhadap perubahan dunia begitu cepat, sepertinya mereka masih menikmati apa yang jadi “Privilege” bagi hidupnya.
Proses transformasi struktural akan sulit terjadi, akibat penetrasi ruang politik kebijakan itu masih terus dikangkangi oleh mereka, kebijakan salah merangsek masuk ke pusat pembuat peraturan serta kebijakan, menjadi wajah sublim sebagai pebisnis sekaligus pemain politik. Mereka bukan sekedar plutokrat, tapi juga oligarki, berubah jadi varian terjahat plutogarkhi, mereka kaya karna mereka pemilik kekuasaan pembuat segaligus perubah aturan dan kebijakan, mengeras bersama feodalisme birokrasi.
Semua kebijakan demi kebaikan dan kepentingan mereka.
Keberhasilan mereka memuluskan regulasi bisnis berpotensi merusak lingkungan, buruh murah melalui aturan Undang Undang Omnibus Law Ciptakerja adalah sebuah peristiwa kolosal gambaran situasi yang sangat konservatif. Kekuatan mereka memaksa terhadap pemerintah melalui penegakan hukum untuk tetap berlakukan UU yang sudah melanggar dan bertentangan dengan Konstitusi adalah manifestasi paling kongkrit bagaimana wajah mereka, “Sungguh sangat ortodoks dan feodal”.
Sementara itu, kekuatan kontrol masyarakat sipil kita juga dalam titik nadir terlemah, sibuk pada isu bagaimana menyambung hidup untuk membiayai organisasi mereka yang pada masa lalu bergantung pada donatur, kampus kampus yang diharapkan jadi persemaian kelompok epistemik melahirkan intelektual organik, ternyata turut terseret dalam fragmentasi politik busuk politik diametral.
Jakarta, 20 Desember 2021
0 Comments