Anugerah yang Bukan Hanya Di Mata

Oct 30, 2021 | Essai

Pagi ini kami sepakat untuk kembali menjelajahi pulau indah dan permai. Awalnya ingin menyeberang ke satu pulau kecil bernama Pulau Pangabatang di daerah Flores, untuk melihat keindahan bahari, namun rupanya, setiba di sana, kami tidak melihat banyak kegiatan. Lalu, muncul seorang bapak mendatangi dan menawarkan diri bersedia mengajak kami keliling menggunakan carter boat dengan biaya Rp.500.000,- selama empat jam.

Kami setuju. Akhirnya kami pun berangkat. Cukup mengejutkan ternyata kapalnya cukup besar, kami pikir kapal kecil mengingat harganya demikian. Yang membuat kami sampai melongo dan terheran-heran, kapten kapalnya hanya sendiri! Tidak ada Anak Buah Kapal (ABK) dan untuk navigasinya, coba tebak! Dia menavigasi kapal dengan kakinya sendiri! Alamak! Sakti nian bangsa kita ini.

Masih syok tapi kami juga sudah dapat dibayangkan bagaimana keindahan bahari Indonesia ini memang sungguh mempesona. Sepanjang perjalanan kami dibuat takjub. Bahkan dalam perjalanan, kami diberikan anugerah dengan melihat tirai hujan dari kejauhan, yang menjadi begitu luar biasa dengan kehadiran pelangi.

“Ahhh!”, hatiku berseru, “Indahnya pelangimu menyapu kegundahan hati akan tirai hujan lebat di kekelaman bangsa ini yang sedang meronta ingin maju dan ingin bertumbuh. Tuhan, Engkau sungguh baik…”.

Belum saja rasa syukur ini usai, dari kejauhan di latar depan kegersangan ladang, kami pun diberikan lebih banyak lagi keindahan. Matahari sore yang benderang dengan cahaya terpantul dari permukaan air laut, membuat hati semakin terenyuh oleh kebaikan Tuhan.

Namun, ada yang membuat hati ini tersentuh. Tak jauh dari sana, kami melihat seorang pria renta yang sedang jongkok dan makan di depan gubugnya. Kali ini, jantung berdegup dan hati kembali meronta. “Dia pernah muda, dia pernah kuat. Dia mengenakan baju lorengnya, barangkali dia pun turut berjuang di masa lalu. Menyedihkan, tidak ada yang memperhatikannya,” dalam hati bicara.

Hati tak kuat, akhirnya, sisa makanan yang kami bawa untuk makan malam kami berikan kepada bapak renta itu. Kembali pikiran melayang jauh dan bertanya, “Apa sebenarnya penyakit bangsa ini ya Tuhan? Ada apa? Kenapa?!”.

Pikiran kembali ke ingatan sejarah masa lalu, tepatnya ke dalam isi buku berjudul “Sarinah” yang ditulis oleh Presiden Pertama RI, yang juga diberi gelar sebagai Bapak Bangsa. “Apakah karena dia suka kawin cerai maka hati Si Ibu merintih pedih meminta Allah untuk membelanya? Namun di sisi lain Si Ibu yang juga harus berjuang membesarkan putra putrinya mungkin sudah kelelahan, apapagi harus memikirkan kelangsungan hidup yang berkelanjutan bagi anak cucunya. Ah!”. Ini menjadi sebuah perenungan diusia lanjut.

Entah harus bagaimana tulisan ini dilanjutkan. Ada banyak anugerah terindah yang diberikan sepanjang perjalanan. Rasa prihatin dan gundah gulana pun, menjadi perenungan. Anugerah terbaik yang bukan hanya dilihat oleh mata.

Semoga kita semua menjadi lebih baik dan terus lebih baik.

29 Oktober 2021
Ruth

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This