Angka mempunyai arti dan nilai, seperti angka empat yang selama ini saya suka, karena angka empat merupakan tanggal kelahiran saya dan saya juga anak keempat dari empat bersaudara. Namun setelah beberapa waktu ini, saya kembali sering mendengar dari orang tua tentang “ampek ganjia, limo ganok” (empat ganjil, lima genap). Saya jadi kembali berfikir ulang tentang angka empat yang selama ini saya “keramatkan”. Apalagi teringat ketika ada tugas dari Uni Mariska Lubis (MRL), tentang konsisten memberikan tulisan setiap hari, selama satu minggu pada jam yang sama. Saya langsung mencek chat WhatsApp tentang itu, ternyata tugas berupa tulisan yang saya kirimkan ke Uni MRL melalui WhatsApp, masih jauh dari harapan. Terutama pada jadwal pengirimannya yang tidak konsisten.
Hari pertama saya mengirimkan tulisan “Diri kembali belajar” pada tanggal 1 Mei 2021, pukul 21:05 Wib. Hari kedua saya kirimkan tulisan “Terlambat empat menit” pada pukul 21:09 Wib. Pada hari ketiga, saya kirim tulisan “Terasa sangat pahit” pada pukul 21:05.Wib. Dihari berikutnya saya kembali mengirimkan tulisan dengan kalimat “Waktu terbuang sia–sia” pada pukul 21:05 Wib. Hari kelima, saya mengirimkan tulisan, “Usia kalahkan umur” pada pukul 21:05 Wib. Dihari keenam tulisan “Dua satu lima” saya kirimkan pukul 21:04 Wib. Hari terakhir, yaitu hari ketujuh, tulisan yang saya kirim pada pukul 21:04 Wib adalah “Modal dalam kubur”.
Dalam tujuh hari menyelesaikan tugas, saya hanya mampu mengirimkan empat kali tulisan secara konsisten dari waktu pengiriman yaitu pada hari pertama, hari ketiga, hari keempat, hari kelima. Selain hari itu, pengiriman tulisan saya tidak sesuai dengan jadwal. Padahal saya sudah mencoba pakai alrm pengingat, tapi tetap saja tidak bisa pas. Saya mendapatkan ilmu dan pelajaran dari hal yang mungkin selama ini dianggap kecil dan sepele.
Dalam dua peristiwa di atas (ucapan orang tua dan tugas), saya mencoba merenungi dan belajar. Dari dua kejadian di atas ada persamaan yaitu adanya angka – angka. “Ampek ganjia, limo ganok” (empat ganjil, lima genap) merupakan angka – angka yang dijadikan ungkapan. Kalau diartikan secara harfiah, ungkapan tersebut salah. Karena angka empat adalah angka genap, bukan angka ganjil. Angka lima adalah angka ganjil bukan genap.
Kesimpulan saya dalam ungkapan Minangkabau ini adalah suatu pekerjaan yang dikerjakan belum tentu sesuai dengan harapan atau belum sesuai dengan standar kewajiban yang telah ditetapkan. Apalagi kewajiban yang diperintahkan oleh Illahi. Dalam islam kewajiban utama ummat adalah shalat yang dikerjakan lima waktu. Apabila shalat yang lima waktu sudah dikerjakan setiap hari, itu baru pemenuhan persyaratan administrasi saja, kalau diumpamakan melamar pekerjaan. Apakah akan lulus, karena sudah memenuhi syarat administrasi tadi? Belum tentu, karena pimpinan perusahaan mempunyai penilaian tersendiri. Begitu juga dengan shalat, Dia juga mempunyai penilaian tersendiri, dan penilaian Dia adalah sebaik – baiknya penilaian.
Jika sudah mengerjakan shalat lima waktu, itu baru di anggap memenuhi syarat (genap), tapi jika kita hanya mengerjakan empat waktu shalat, bahkan kurang, maka bisa dianggap tidak memenuhi syarat (ganjil). Sungguh dalam makna yang terkandung dari ungkapan tersebut, bahkan mungkin mempunyai makna yang lebih lagi dari sebatas pemikiran saya diatas.
Dalam tugas yang diberikan Uni Mariska Lubis, juga terdapat angka – angka. Yaitu angka yang ada pada waktu atau jam pengiriman tulisan. Angka ketika saya mengirimkan tulisan pertama kali adalah dua, satu, nol dan lima (21:05). Harusnya dalam enam hari berikutnya saya juga mengirimkan pada jam yang sama. Walau ada selisih jam, saya akan mencoba ambil angka dari jam pengiriman pertama yaitu, dua, satu, nol dan lima.
Angka dua mengingatkan saya tentang ciptaan-Nya, semua yang Dia ciptakan selalu berpasang–pasangan. Dia adalah Satu, yang tidak bisa diduakan. Semua ciptaan-Nya, terutama manusia, berawal dari nol, bukan apa–apa, bukan siapa–siapa. Perintah-Nya adalah shalat lima waktu, yang akan bisa menjadikan manusia itu menjadi apa dan menjadi siapa di mata-Nya. Saya berfikir, ini hampir sama dengan apa yang ada di kepala saya tadi tentang makna ungkapan Minangkabau di atas. Shalat lima waktu.
Begitu dahsyatnya makna dari angka–angka di atas, walaupun berbagai macam angka yang ada tetap berasal dari Satu Yang Maha Segala–galanya. Dan mulai sekarang angka empat yang saya anggap “keramat” selama ini, sudah resmi saya singkirkan. Dan mudah–mudahan saya bisa menjadi orang yang konsisten, terutama dalam mengerjakan kewajiban.
Bungo, Jambi, 26 Juli 2021
Rickardo Chairat
0 Comments