Angka 1

Aug 21, 2021 | Essai

Visits: 0

Apa yang Saudara rasakan saat melihat angka 1? Apa pendapat saudara? Adalah penulis yang melihat angka 1 sebagai sebuah kesempurnaan, yakni sebuah pencapaian secara maksimal atas prestasi seseorang. Artinya seseorang akan mencapai puncak tertinggi sebuah posisi apabila ia berada di urutan nomer 1. Contohnya RI 1. Sudah pasti ini adalah kekuasaan tertinggi yang ditempati oleh orang nomer 1 di Indonesia. Siapa lagi kalo bukan presiden. Ya presiden Jokowi adalah orang dengan kekuasaan nomer 1 di Indonesia.

Teringat saya saat-saat saya masih sekolah dan saya sering mendapatkan rangking 1 di kelas. Hal luar biasa dari sebuah kerja keras yang terbayarkan. Saat peringkat merosot ke urutan ke 2, 3 dan seterusnya, ada perasaan kecewa luar biasa karena kegagalan mempertahankan prestasi yang sudah teraih. Rasanya menyakitkan karena saya merasa terkalahkan dan terpinggirkan. Terkadang kekecewaan semacam itu bisa menjadi beban berat buat banyak orang dengan posisi seperti saya.

Adalah tidak mudah untuk bertahan agar selalu berada diposisi nomer 1. Banyak waktu, tenaga, dan pikiran musthi dipertaruhkan. Banyak tekanan pula yang muncul berdatangan dari kiri kanan kita. Kemudian muncul pula pro dan kontra. Orang-orang berebut angka 1. Kekuasaan. Mengapa? Karena kekuasaanlah Anda mempunyai hak dan wewenang dan itu jadi rebutan. Banyak yang iri dengan besarnya hak dan kekuasaan. Pada akhirnya mereka berusaha saling menjatuhkan. Naudzubillah.

Dalam lingkup keluarga, saya merasa angka 1 menempatkan saya sebagai anak pertama. Ini sebuah beban. Kadangkala perasaan negatif menjalar setelah menjalani hidup. Anda pasti tau kalau anak pertama itu harus mandiri, cerdas, dan ngemong pada adik-adiknya. Ia harus tampil menjadi leader bagi adik-adiknya. Ia harus hebat, pintar, dan suka menolong. Begitu tingginya ya tuntutan ke anak nomer 1. Padahal hakekat dari semua manusia adalah sama. Baik itu kakak atau adik . semua berpotensi sama. Sama-sama berbuat salah dan selalu khilaf.

Dan itu benar dan nyata adanya. Sebagai anak pertama, orang tua saya sudah tidak pernah membimbing saya belajar lagi sejak di bangku sekolah dasar. Saya ingat betul mereka hanya mengajari saya sampai bisa membaca dan menulis. Selebihnya saya belajar sendiri melalui buku-buku dan dari guru-guru saya di sekolah. Di saat anak-anak zaman sekarang masih sangat tergantung pada orang tuanya bahkan sampai usia sekolah menengah. Saya kadang kala juga merasa iri mengapa dulu ibu saya tidak sebegitu perhatiannya membimbing saya.

Sejak kelas 4 saya sudah mencuci baju sendiri. Menyetrika baju sendiri. Sering diminta ibu memasak kalau ibu sibuk. Saya menyelesaikan semua urusan pelajaran sendiri. Jangankan mencuci dan menyetrika baju, belajar mengerjakan PR nya pun anak-anak sekarang masih dibantu ibu bapaknya. Entahlah dulu memang jamannya beda barangkali. Semua serba kekurangan jadi orang tua sibuk bekerja demi anaknya bisa sekolah dan menjadi sarjana.

Mengapa angka 1 kadang bermakna negatif buat saya? Entahlah saya juga tidak tahu. Itu yang keluar dari hati dan pikiran saat tiba-tiba mengungkapkan. Bukannya saya tidak percaya diri untuk selalu menargetkan hidup saya di angka 1 tetapi saya juga berusaha mengukur kapasitas diri ini mampu atau tidak.
Tidak ada yang melarang kita bermimpi sejuta angan, namun kiranya lebih bijak buat saya untuk melihat kenyataan yang ada.

Riena Sarie

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This