Oleh : Wahyu K Sangaji
Sebuah Puisi, Juanga cultur, 02 November 22.
Sekarang apa-apa mulai sirna
Hingga tak sesederhana
Cinta sirna
Engkau sirna
Lalu kau dan harapan di atas sana.
Kau berkata padaku : cinta tidak mati.
Jika kau jadi raja
Cinta akan tumbuh dihutan-hutan gundul
Diair-air keruh, digunung-gunung keruk
Ditangan-tangan para korup
Kau bodohi siapa, kataku dalam hati.
Cinta telah mati, dibawa pohon jati.
Engkau menguburi bersama sukmamu.
Hingga aku rasa engkau abadi dikala demokrasi jadi nasi.
Pikirku begitu hingga kau basi dan jadi tai.
Aku dapati cinta masih bernafas.
Mengeluarkan suara dan bersabda samar.
Hanya saja, ia bernafas
Diruang-ruang penindasan
Panggung rakyat,
Etalase perpus,
Digunung,
Di atas kasur
Dan di buaian kinasih sang ibu.
Aku tidak mau jadi raja.
Aku adalah aku
Sebab, aku tahu raja-rajaku
Yang bergelimang harta
Duduk di takhta kuasa
Merampas hak jelata
Memperkosa kaum hawa
Meraba-raba mutiara hamba
Aku mau jadi apa, tetap aku.
Tapi aku tak mau jadi raja
Aku adalah aku
Melahirkan anak-anakku
Bersahaja
Berlimpah cinta rakyat
Dalam rahim pemberontak
Ku puja-puja ia di atas mimbar rakyat
Agar ia jadi ratu
Hingga ia menggoda tuan
Menarik raja di atas permadani
Memuaskan nafsu lalu menikam mati di atas kasur.
“Aku ciptakan anak-anak untuk ‘mereka’ agar mengenal cinta dan tak sirna. Sebab cinta telah mati dibunuh oleh kota ibu (ibu kota).”
0 Comments