Amai Setia

Nov 13, 2021 | Cerpen

“Kakak, Kakak! Tulis namaku di telapak tangan!”

“Aku juga mau. Aku juga mau!”

Anak-anak perempuan yang berkumpul di rumah Rohana saling berebut untuk ditulis namanya di telapak tangan mereka. Satu per satu dari mereka rela mengantre. “Siapa namamu?”, tanya Rohana. “Saya Mala.”
M-A-L-A begitu tiap huruf ditulis di telapak tangannya. Betapa girang anak-anak itu memandangi telapak tangan mereka begitu sudah tertera nama mereka yang masih basah dengan tinta.

“Ayo coba dilafalkan, M-A-L-A, Mala.”, ujar Rohana mengajarinya. “M-A-L-A, Mala.” Wajah anak itu sumringah membaca namanya sendiri.

Simpang Tonang Tolu, berada di pelosok Minangkabau. Memang saja warga di sana masih banyak yang buta aksara. Terkungkung oleh Belanda yang masih duduk di atas Ibu Pertiwi. Siti Rohana, perempuan yang sudah lebih maju pikirannya. Berani mendobrak keterbatasan perempuan yang terjerat adat. Ia percaya. Suatu saat nanti, perempuan akan mendapat haknya untuk mendapat pendidikan.

Tak ayal, sejak kecil ia berani mengajar di depan teman-temannya. Delapan tahun usianya saat itu. Sang Ayah yang sering memberikan Rohana buku bacaan yang didapat dari pemerintah Belanda membuka isi kepala Rohana. Pendidikan. Kata yang tersemat di pikirannya. Inilah titian perjuangannya. Membangun pendidikan untuk perempuan.

Warga Simpang Tonang Tolu yang mendengar Rohana mengajar baca, tulis, hitung memantik dengki. “Kau lihat saja Siti Rohana itu. Banyak Lagak. Bisa-bisanya mencoba menyamakan diri dengan anak lelaki.”

Rohana tutup kuping. Ia sadar bahwa tindakannya memantik dengki sebagian masyarakat di sana. Tapi, ia tidak gentar dan masih terus berjalan membangun pendidikan layak bagi perempuan.

17 Tahun usianya. Jiwa muda yang perkasa. Perjuangannya memang tidak mudah. “Kakak kembali dulu ke kampung halaman ya. Mala. Kamu ajari teman-teman yang lain. Ingat apa yang kakak ajarkan. Kita perlu berani melangkah. Jangan dengarkan orang lain yang mencibir. Ketahuilah kita perempuan perkasa.”, Rohana tersenyum lebar sembari memeluk anak-anak perempuan sebaya. “Hati-hati Kakak. Semoga selamat sampai tujuan.”

Rohana kembali ke Koto Gadang. Asal-usul kelahirannya. Kira-kira, apa yang nanti bisa aku berikan pada teman-teman? Ah. Aku tambahkan saja keterampilan lain seperti menjahit.

Koto Gadang. Sebuah nagari di barat Sumatra. Terletak di antara Gunung Singgalang dan Ngarai Sianok. Malam hari cukup dingin. Bisa sampai enam belas derajat. Kalau suhu rata-rata di pagi hari mungkin mencapai dua puluh lima derajat, ya tidak terlalu panas tidak terlalu dingin pula. Sejuk.

Di kampung halamannya, Rohana mengajar baca, tulis, hitung, dan kini mulai mengajari menjahit juga keterampilan lain. Ia kumpulkan anak-anak di kampungnya untuk berkumpul di rumah nenek Rohana. Ia mulai semuanya dari nol lagi.

Dimana pun sama saja. Perempuan dianggap tidak memerlukan pendidikan. Pikiran kolot para warga mencibir gerak-gerik Rohana di dunia pendidikan. “Yang paling bahaya dari aktivitas Rohana adalah membuat anak-anak perempuan menjadi berani melawan adat karena merasa pintar. Kalau saja mereka pandai membaca dan menulis, pasti mereka akan bersurat dengan laki-laki Belanda dan pergi dari Koto Gadang.”, pikiran picik seorang warga.
Memang penolakan selalu terjadi. Rohana paham aktivitas pendidikan miliknya tak selamanya disukai oleh warga. Rohana hanya ingin sebuah kemajuan kaum perempuan agar mendapat pendidikan yang layak.

Tujuh tahun berselang setelah lama ia menetap di Koto Gadang. Rohana tetap melangkah. “Rohana, aku sudah siapkan jodoh untukmu, keluarga yang lain juga sudah setuju.”, ujar Tuo Sini, adik dari nenek Rohana. Hubungan mereka cukup dekat. Tuo Sini selalu mendukung Rohana untuk terus mengajar dan memajukan pendidikan perempuan. Rohana juga percaya dengan jodoh pilihan Tuo Sini, tak mungkin Tuo Sini memilihkan lelaki yang salah untuknya.

Abdul. Abdul Kudus namanya. Jodoh usulan Tuo Sini untuk Rohana. Abdul masih punya hubungan saudara dengan Rohana, karena ia sepupu jauh dari pihak sang Ayah. Basisnya yang suka menulis membuatnya cocok dengan Rohana. Tidak sedikit tulisannya yang dimuat di berbagai surat kabar yang terbit di Jawa dan Sumatra. Abdul aktif dalam pergerakan anti-Belanda. Tulisannya tajam mengkritik pemerintah Hindia Belanda yang tidak berpihak pada pribumi.

  1. Rohana menikah dengan Abdul Kudus. “Kamu tidak harus menjadi buntut suamimu. Bebaslah. Kejar cita mulaimu. Membangun pendidikan bagi perempuan.”, ucap Abdul. Rohana yang mendengar itu semakin bersemangat untuk memajukan kaum perempuan.

Gerakannya untuk membangun pendidikan semakin gencar dilakukan di Koto Gadang. Namun, sedikit-sedikit, orang tua murid mulai takut anak-anak mereka ditangkap oleh Belanda, sebab suaminya yang aktif di bidang politik dan takut anak-anak mereka terjerumus dalam gerakan politik.

“Rohana, apa sekolahnya tidak ditutup saja. Ini meresahkan warga, bagaimana kalau anakku, anak warga lain terpengaruh gerakan politik?” Gunjingan dan tekanan pada Rohana membuat sekolah yang dibuka di rumahnya itu ditutup. Rohana dan Abdul memilih pindah menuju Kampung Maninjau. Dua tahun berselang berpindah lagi ke Padang Panjang.

Di perantauannya, Rohana berkirim surat dengan mantan murid-muridnya.

Surat ini kutuliskan untuk murid-muridku di Koto Gadang. Bagaimana kabar kalian? Sekarang aku berada di Padang Panjang. Semoga kalian tetap berjuang di sana. Aku ingin cepat kembali ke Koto Gadang. Bertemu lagi dengan kalian dan kembali membangun sekolah perjuangan kita. Bagaimana kondisi di sana? Semoga kalian tetap dilindungi oleh-Nya.

Keresahan Rohana memuncak. Dia sangat ingin sekali kembali mengajar di Koto Gadang. Bersandarlah ia di bahu suaminya, “Apakah aku egois? Berjalan sendiri memajukan pendidikan perempuan Koto Gadang. Tiap langkahku dirasa melangkahi martabat adat-istiadat.” Rohana sedih.

Menenangkan istrinya, Abdul memeluk pundak Rohana. “Adik tersinggung dengan itu? Memang tidak selamanya tujuan baik kita diterima dengan hati yang terbuka.” Rohana tumpah di pelukan Sang Suami. Kesepian di tanah rantau membuat Rohana tersiksa, karena tak punya kegiatan selain mendampingi suaminya. Belum dikaruniai seorang anak membuat Rohana menjadi lebih gelisah.

“Bagaimana kalau kita kembali saja ke Koto Gadang?”, Rohana meminta. “Boleh saja, adik sudah baikan?” Rohana mengangguk. Tanda baik-baik saja. Ia menyiapkan rencana agar pembukaan sekolah kembali di Koto Gadang tidak mendapat penolakan dari warga.

Setibanya di Koto Gadang, Rohana mulai menjalankan rencananya. Ia panggil istri seorang jaksa yang dihormati di kampung itu. Ratna Puti namanya. “Bisakah kamu mengundang para perempuan pemuka adat, pemuka agama dan pejabat daerah?” Pinta Rohana kepada Ratna.

“Untuk apa?”

“Aku ingin mengadakan pertemuan perempuan. Penting. Aku ingin membuka sekolah bagi anak perempuan di Koto Gadang. Ayo. Bersama kita melangkah mengatasi masalah pendidikan kaum perempuan di Koto Gadang. Sekolah sangat dibutuhkan untuk perempuan. Maka dari itu aku ingin kamu mengundang perempuan-perempuan itu.” Tegas Rohana.

“Baiklah.” Ratna setuju.

11 Februari 1911 , di malam pertemuan Rohana mengajak perempuan-perempuan untuk sadar akan pendidikan. Ajakannya yang menggelegar jiwa menyentuh hati mereka. Bulat satu suara mereka mendukung pembentukan perkumpulan perempuan yang dinamai Kerajinan Amai Setia.

Perkumpulan ini menjadi titik Rohana untuk kembali mengajar dan menumbuhkan pendidikan di kalangan perempuan. Rohana duduk sebagai presiden perkumpulan dan pengarah sekolah itu. Kembali kepada akar, Rohana membuka perkumpulan ini di rumah neneknya. Sama seperti yang mula dulu.

Kegiatannya semakin dilirik oleh masyarakat. Peran para pemuka memberikan dampak yang positif bagi pembukaan sekolah ini. Namun, rumah nenek Rohana tidak cukup menampung murid yang semakin lama semakin besar. Maka timbul keinginan untuk membangun gedung sekolah dan sekretariat perkumpulan Kerajinan Amai Setia.

Satu permasalahannya. Uang. Rohana tidak mempunyai uang sebesar itu untuk membangun bangunan yang cukup besar. Di tengah kebingungan Tuan Groenevel datang kepada Rohana untuk menawarkan solusi. Badannya jangkung dengan kacamata bundar. Memakai setelan cokelat putih khas Belanda. “Bagaimana kalau kamu adakan saja lotre untuk menggalang dana?”, Usul Tuan Groenevel.

“Bagaimana mengurusnya?” Tanya Rohana.

“Datanglah ke pemerintahan untuk mengurus izinnya. Mudah saja.”

Rohana bergegas menuju kantor pemerintah setempat demi mengurus izin lotre. Setelah izin didapat, cibiran tumbuh kembali. Pemuka adat dan agama tidak setuju dengan ide Rohana karena dicap haram. Rohana tutup kuping. Ini semua demi niat baik untuk membangun fasilitas pendidikan. Pikirnya.

Rohana tetap kukuh mengadakan lotre dan berhasil mengumpulkan uang yang cukup untuk membangun sekolah. Sepuluh ribu gulden. Bayangkan.

Sialnya, setelah keberhasilan mendapatkan uang itu. Rohana kembali dirundung dengan tuduhan korupsi uang lotre. Cibiran merambat pada tuduhan warga kepada Abdul yang lebih banyak bekerja di rumah yang menilai suaminya itu tidak berpenghasilan dan mengambil uang untuk kebutuhan hidup.

Kejam. Sungguh kejam. Rohana menolak tudingan yang ditujukan kepada suaminya itu. Rohana menangis. Membela suaminya, Rohana berani membuktikan kepada pengadilan Bukittinggi. Dua bulan ia berkutat dengan pengadilan. Menyerahkan catatan keuangan perkumpulan pada pejabat negara untuk diperiksa. Mondar-mandir masuk persidangan. Dan berakhir pada dua tahun. 1916. Rohana tidak bersalah.

Disibukkan dengan persidangan yang memakan waktu panjang membuat posisi Rohana di perkumpulan digantikan oleh pengurus lain. Rohana yang selesai urusannya dengan tuduhan palsu dari masyarakat kini berhadapan dengan masalah baru. Lagi.

Rohana disisihkan dari perkumpulan. Ia dijegal oleh mantan muridnya. Fitnah dilontarkan, “Ia berselingkuh dengan lelaki Belanda, lihat saja ia sering keluar masuk kantor pemerintah. Apalagi berkawan dengan Belanda. Karena belum hamil setelah sembilan tahun menikah, jadi bermain dengan Belanda.” Pedih.

Perjuangan Rohana dipenuhi kepedihan dan kegagalan. Di antara pedihnya, Rohana hamil. Rohana girang sekali dan memeluk suaminya. Berita kehamilan Rohana menyebar dengan cepat ke telinga masyarakat. Parahnya masih saja fitnah dilontarkan, “Itu kehamilan dari hubungan gelap dengan petinggi Belanda.”

Amarah Rohana kemuncak. “Buktikan saja. Kalau berani buktikan saja. Biarlah anak ini lahir berkulit hitam dan berhidung pesek!”

Abdul percaya kepada istrinya itu. Tak mungkin Rohana melakukan korupsi atau bermain dengan lelaki Belanda.

Kondisi Koto Gadang sama sekali tidak mendukung Rohana. Tanah kelahirannya memberikan manis sesaat dan lara yang membekas. Tidak nyaman. Ia lepaskan Kerajinan Amai Setia dan tidak ambil pusing terhadap muridnya yang mengambil alih. Rohana dan Abdul pindah ke Bukittinggi. Di sanalah anak mereka lahir. Djasma Juni, nama anaknya. 1917. Ia lebih memulai segalanya dari nol. Membuka sekolah baru. Rohana School.

Selamat Hari Pahlawan
10 November 2021

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This