Kusingkap helai demi helai pakaian yang tergantung rapi di lemari coklat dan berpintu kaca itu. Bukan bermaksud untuk masuk ke dunia ajaib seperti yang Lucy temukan pada film “Narnia” lho, tapi sedang mencari sesuatu. Nah, akhirnya kudapatkan juga…Lalu kutarik baju itu. Aroma wangi semerbak “amoris” masih menempel di baju berbahan flannel tersebut. Baju favorit suamiku juga aku. Karena kami sama-sama suka baju flannel kotak-kotak hingga kini.
Kukenakan baju itu, kebesaran memang karena itu bukan bajuku melainkan baju suamiku.
Ku mematut diri di depan cermin. Tapi tidak sambil berkomat-kamit melafalkan mantra-mantra, “Mirror, mirror on the wall, who’s the fairest of them all?” Seperti yang diucapkan ratu jahat, ibu tiri Putri Salju…Kini terpampang jelas di cermin seorang perempuan berambut pendek berkemeja flannel kotak-kotak biru muda yang sedikit kedodoran dan bercelana jeans belel. Siapakah dia? Dia adalah aku, tapi bukan aku yang sekarang. Aku puluhan tahun lalu.
Perempuan berbaju flannel dan bercelana jeans belel yang pergi-pulang kuliah rute Kopo-Dipatiukur, Kopo-Jatinangor selalu naik bus DAMRI. Dan tempat duduk favoritnya yakni dekat jendela. Jika pergi pagi dia lanjutkan tidur malamnya yang sempat terjeda karena mesti berpagi-pagi berangkat kuliah. Dan jika pulang, terlelap pula saking nyamannya dibelai semiliwir angin dari jendela bus yang sengaja dibukanya sedikit.
Teman-teman kuliahnya mayoritas laki-laki. Satu jurusan dan satu angkatan dari 50 orang, hanya 10 orang perempuannya dan sisanya lelaki melulu. Belum lagi teman-teman nongkrongnya yang jurusan fisika itu mayoritas lelaki pula. Ditambah lagi teman-temannya yang kuliah di Seni Rupa ITB kebanyakan laki-laki pula. Jadilah dia laksana “Perawan di Sarang Penyamun” tapi alhamdulillah semua penyamunnya baik-baik. Justru dialah yang judes dan galak. Maka judulnya kini berubah “Perempuan Galak di Sarang Penyamun Baik Hati”. Ha ha ha.
Demikianlah karena penampilan dan pergaulanku yang mahiwal kata Orang Sunda mah , tak heran bila kakakku sendiri mempunyai anggapan bahwa suatu saat nanti jika aku bersuami dan punya anak, dia anggap aku tak kan mampu mengurus anakku. Untuk itu dia berbaik hati, katanya biarlah anakku itu dia yang ngurus dan aku anteng saja jadi wanita karier. Nah lho, sedemikian jauhnya pemikiran kakakku waktu itu hanya karena penampilan dan pergaulanku. Ampun deh!Tapi aku pun tak marah dengan pendapat kakakku yang sok jadi peramal itu. Kutanggapi saja dengan canda dan tawa.
Waktu terus bergulir hingga selesai kuliah aku sempat diserahi mengelola sebuah radio yang nyaris tutup alias tak siaran lagi. Dan tak lama kemudian aku juga dapat tawaran bekerja di salah satu perusahaan penerbit buku terbesar di Bandung. Beberapa tahun aku menikmati sebagai wanita karier. Pada awal-awal bekerja kantoran aku sempat dianggap aneh oleh teman-teman baru di kantor tersebut. Mungkin karena penampilanku yang nyeleneh dan sering _grasak-grusuk , tak bisa tampil anggun seperti mereka. Tapi untuk menjadi seperti itu juga perlu proses kan?
Sampai akhirnya saat masih bekerja di kantor itu, aku pun memutuskan berhijab. Sebuah keingginan yang telah lama kupendam lama yakni sejak aku SMA.
Tak lama kemudian Allah pun mempertemukan aku dengan lelaki yang sekarang menjadi suamiku. Setelah sebelumnya menurut orang lain aku teh gonta-ganti pacar aja. Sebenarnya wajar dong namanya juga cari calon suami mesti selektif kan tidak bisa “ngasal”.
Cukup tiga bulan saja, kami saling mengenal dan Bismillah kami pun akhirnya menikah tanggal 6 Februari tahun 2000. Dan tanpa menunggu lama alhamdulillah kami pun dikarunia anak pertama seorang bayi perempuan. Walaupun lahir prematur. Kelahiran bayi prematur itu pun alhamdulillah lancar hingga tidak perlu merepotkan orang tua atau pun mertua. Malahan di ruang bersalin hanya ada dokter, suster yang membatu persalinan serta suami yang senantiasa siaga menemaniku di samping tempat persalinan. Sementara orang tua dan mertua datang setelah semuanya beres dan rapi. Bayi perempuan yang lahir dengan berat badan hanya 2,47 kg itu kemudian kami beri nama Raihana Ufara Ramdhan.
Sebagaima peraturan kerja waktu itu bahwa setiap pegawai perempuan berhak mendapatkan cuti
melahirkan selama 3 bulan, tak terkecuali aku. Menjelang cutiku berakhir, kami pun telah mempersiapkan segala sesuatunya agar bayi kami tetap terjaga selama aku bekerja. Termasuk pembantu merangkap baby sitter pun telah disiapkan pula.
Tibalah hari di mana aku kembali ngantor. Namun, apa yang terjadi? seharian aku tak bisa konsentrasi bekerja pikiranku terus saja ingat pada bayi di rumah. Padahal di rumah ada pembantu juga ada mertua yang turut mengawasi. Sampai-sampai aku nangis dibuatnya karena kangen pada anak di rumah.
Dari situlah akhirnya aku memutuskan berhenti kerja dan konsentrasi ngurus bayi. Padahal waktu itu posisiku di kantor cukup bagus. Tapi sudahlah aku mesti memilih mana yang lebih prioritas bagiku. Aku pun kemudian memutuskan turut suami ke Jakarta karena suami tak lama setelah kami menikah bekerja di Jakarta.
“Biarlah mungkin nanti setelah anak cukup besar aku bisa mulai bekerja lagi di Jakarta,” Pikirku waktu itu. Tapi apa yang kemudian terjadi? Di Jakarta aku tidak ada saudara yang tinggal dekat dengan tempatku tinggal. Dan sekalipun aku punya pembantu juga tetap saja aku tak tega meninggalkan anak hanya diasuh pembantu. Lagi-lagi aku pun mesti membuat sebuah pilihan. Dan lagi-lagi pula pilihanku untuk tidak bekerja.
Inilah permulaan aku menjalani hidup sebagai Ibu rumah tangga. Mudahkah? Tidak juga ternyata. Aku sering stres karena yang kulakukan kesehariannya hanya itu-itu saja. Mengurus suami dan terutama bayi yang sepertinya 24 jam tak henti-hentinya. Tapi aku bersyukur memiliki pendamping hidup yang senantiasa sabar menghadapi segala kekesalan dan kemarahanku. Sebenarnya dia pun tidak keberatan jika aku kerja atau tidak.
Ketika putriku mulai sekolah TK sempat terpikir aku ingin kuliah lagi. Biarlah aku mengambil kuliah keguruan hingga aku nanti bisa mengajar. Menurutku pekerjaan seorang guru tidaklah seperti pekerja kantoran umumnya. Tidak mesti berlama-lama meninggalkan anak di rumah. Sempat waktu itu mencari-cari FKIP di Jakarta. Namun kemudian keinginan itu urung karena ternyata aku hamil lagi anak kedua.
Hingga akhirnya lahir anak keduaku. Bayi laki-laki yang kami beri nama Hilmy Zahran Al Giffari. Lagi-lagi suamiku hadir menemani di kamar persalinan. Dari situlah aku tak lagi memikirkan untuk kembali bekerja. Aku fokus membesarkan dua anakku. Semua prosesnya kunikmati tahap demi tahap hingga tak ada satu tahap pun perkembang kedua anakku itu terlewatkan.
Demikianlah karena aku telah memilih mau tidak mau, suka atau tidak suka dengan pilihanku itu aku harus terima dengan segala kunsekuensinya. Inilah mungkin jalanku sekaligus ladang amalku. Semoga saja Allah senantiasa meridhai.
Nah, bagamana dengan “ramalan” kakakku waktu itu, terbuktikah? Lagi-lagi aku tertawa di depan cermin. Dan perempuan di cermin pun ikut tertawa. Sosok kami pun kemudian menyatu. Masa laluku adalah bagian dari perjalananku, tidak bisa dipisahkan dariku. Masa lalu itu penting bagiku, mamun masa depanku jauh lebih penting lagi.
0 Comments