Agar Kamu Mengerti

Jun 21, 2023 | Cerpen

Setiap makhluk punya kadar cinta. Khususnya, manusia yang mendapat kebebasan mau melampiaskan pada sesiapa, atau menaruh rasa pada hati yang mana. Terkadang ia adalah kenangan terindah, namun juga pelajaran terpahit. Anganku berlayar melewati satu hari, setelah seorang kawan berkata,

 “Kamu enak, ya, setiap hari bisa ketemu dia!“ ucapnya.

Aku tidak terlalu menggubrisnya. Di mataku, ‘dia’ sosok yang biasa saja. Saat SD pun aku tidak pintar untuk bergaul dengan lelaki. Waktu itu aku malah dimusuhi karena selalu menampakkan wajah garang pada mereka.

Aku tidak biasa jatuh cinta, tidak ingin terbiasa. Karena aku tahu bahwa sikap dan prestasi saja tidak menarik bagi lelaki, sekiranya itu anggapanku.

Trust issue.

Aku tidak suka kalau ada lawan jenis menghubungiku, karena aku tahu betapa lemahnya diriku. Namun, rasanya sesuatu yang pertama kali selalu menyenangkan untuk dijalani. Dia orang yang dewasa, pintar, namun juga sedikit lucu dan kekanakan.

Dia mampu menuliskan susunan kata demi kata yang lucu di chatku. Bagaimana cara dia memuji bahwa aku anak yang pintar, atau berlagak tidak tahu tentang gosip tapi sebetulnya dia yang paling tahu. Aku menikmati itu semua, saat itu semuanya terasa indah.

•••

“Yah, aku berangkat dulu, ya..,“ ucapku.

Ayah hanya mengangguk mengiringi langkahku keluar rumah. Kini bukan beliau yang mengantar-jemputku setiap sekolah. Namun, orang lain, yang tidak aku percayai penuh, memang dasarnya aku susah dan takut bergaul dengan laki-laki. Apalagi kalau aku harus bertemu setiap hari. Bagiku Ayah yang terbaik, siapa orang yang bisa kuajak beli roti banyak-banyak dengan mudah selain keluarga sendiri.

Sore menjelang, kadang-kadang aku lebih senang naik angkot dari pada pulang dengan ‘orang lain’. Agak bodoh memang, toh ojeknya juga sudah dibayar untuk antar jemput. Tapi entah, aku ingin cari suasana baru. Setidaknya setelah pulang aku bisa beli jajan untukku dan adik-adikku.

Roda-roda angkot membelah jalanan, beriringan sebelah motor dan mobil berisi manusia-manusia sibuk. Goresan-goresan jingga angkasa menemaniku saat sibuk mengedarkan pandangan ke jendela. Angkot sekarang ada di flyover, di bawahnya ada tol baru, mobilnya sudah banyak yang lewat.

Kalau bersama Ayah, beliau sering menyuruh Adikku untuk berdiri dan lihat ke jalan tol, dan bertanya ada berapa mobil yang sudah lewat. Angin sepoi menusuk lembut hati yang tengah bernostalgia, angin yang menemaniku pula saat dulu aku, Ayah, dan Adik beristirahat di warung kecil dekat jalan tol yang sedang dibangun.

Kadang hanya beli roti, kadang juga membungkus es rasa anggur buat pulang nanti. Setelahnya ada pohon yang mirip pohon kelapa berjejer di pinggir, menari bersama angin di bawah naungan senja. Lalu kami pulang membawa es untuk masing-masing. Tidak mahal tapi menyenangkan.

“Ah, aku rindu Ayah yang kuat..,“ ujarku sebelum meminta sopir berhenti dan memberi uang sebelum pergi.

Aku kadang sedih ketika harus pulang ke rumah. Di sana hanya ada Ayah yang dulunya tidak pernah sakit, sekarang untuk makan saja susah. Hanya ada Ibu yang sibuk mengurus kerjaan dan Ayah, juga Adik yang tidak tahu apa-apa.

Aku ingin membantu, tapi tak sampai mampuku. Aku tidak suka tidak bisa membantu, namun, aku hanya bisa segitu. Sekolah yang melelahkan, lalu rumah yang menyedihkan, mungkin itu sebab kehadirannya jadi mengasyikkan. Setidaknya sementara, hanya sementara, hiburan ketika aku tidak tahu harus mengobrol dengan siapa.

Sampai waktu magrib, ketika aku hendak mandi, Ayah pergi. Tiba-tiba sekali. Semua-semuanya terpampang jelas di depan mata. Aku campur aduk. Aku harus apa. Beberapa saat aku termenung melihat Ayah yang tinggal jasadnya saja, sedangkan Ibu sudah menangis sesenggukan.

“Oke, Ayah sudah meninggal, lalu apa?“ memang terdengar durhaka, tapi aku masih tidak bisa mencerna. Barulah air mataku hadir ketika aku sadar bahwa Ayah benar-benar telah tiada. Ayah yang tidak pernah sakit, kuat, dan selalu ‘tidak apa-apa’, kini jadi ‘tidak bisa lagi apa-apa’.

Aku melihat atap dengan mata sembab. Banyak pertanyaan yang mencabik-cabik kepala. Tapi, seperti yang kupelajari, ini takdir, dan wilAyah yang Allah kuasai. Semuanya berlalu begitu cepat, hingga Ayah sudah dikuburkan di kampung halamannya. Kini, keluargaku sudah kehilangan wajahnya.

Setelah Ayah tiada, aku menginap di kampung sementara. Banyak chat dari orang-orang yang berbelasungkawa. Begitu pula chat dari teman sekolah yang menanyakan bagaimana kabarku.

“Aku udah baik-baik saja.”

Setidaknya lebih baik, dan harus lebih baik. Banyak temanku yang akhirnya tahu bagaimana wajah “Dia” yang aku sebutkan di awal. Di saat aku tidak ada, justru dia ada. Sudahlah, kini aku tidak ingin berharap apa-apa.

Sepertinya, Allah tidak suka bila aku mencintainya. Ah, mungkin aku sudah menduakan cinta-Nya. Entah, banyak spekulasi yang meranggas isi kepala. Kupikir dengan menaruh rasa pada orang yang baik itu tidak mengapa. Namun ada yang lebih berhak untuk dititipkan rasa itu seluruhnya. Pada akhirnya, Allah di atas segalanya.

Sifat Maha Cemburunya dilukiskan dalam takdirku yang bekerja. Ini bukan salah siapa-siapa. Hanya aku yang salah dalam menaruh rasa. Kadang aku bahkan berandai-andai, jika saja aku tidak menaruh rasa, atau bahkan bertemu dengan dia, apa Ayahku masih ada? Tidak, tidak! Kematian sudah kering tanggalnya di lauhul mahfuz bersama rezeki dan kehidupan.

Kini aku mendudukkan diriku di bawah pohon rindang di pinggir sekolah. Menunggu dijemput, tapi bukan oleh Ayah lagi. Banyak siswa yang berlalu-lalang dengan obrolan penuh canda tawa. Sesaat ada temanku yang mengatakan kepadaku tentang tingkah baru cowoknya yang berhasil menyita perhatiannya. Banyak hal yang ia ceritakan, namun kubalas senyum dan canda biasa. Terkadang, cinta adalah tumbal. Ketika ada yang kamu cintai, ada pula yang dikorbankan.

Aku takut untuk banyak berharap lagi. Karena ketika aku melakukannya, aku takut akan ada sesuatu yang Allah ambil dariku untuk mengajarkanku. “Siapa yang akan diambil lagi jika aku salah lagi,” begitu suara yang terkadang menggema dalam hati. Mungkin terdengar sedikit berlebihan untukmu yang sedang membaca.

Mungkin kamu agak risih denganku, karena terkesan mengomentari dan tidak peduli dengan cerita merah jambumu. Maaf, ya. Aku tidak ingin kamu jadi sepertiku. Aku harap kamu bisa lebih pintar mencintai dari padaku. Ada banyak hal yang ditinggalkan kematian untukku, namun sekarang ia berkata bahwa semua hal, ada Allah di ujungnya.

Mungkin Allah tidak suka aku mencintainya. Karenanya Ia jadikan semesta ini bekerja untuk mengajariku bagaimana mengolah rasa. Oh, Engkau masihlah Sang Maha Cinta, ya Allah. Semua makhluk punya rasa cinta, tapi pada akhirnya Kau juga pemilik sejatinya. Karenanya, ajarkan Aku bagaimana mencintai cinta yang Engkau rida atas-Nya. Agar aku diridai, agar aku tidak salah lagi, agar aku bisa mencintai-Mu dan menjadi hamba yang Engkau cintai.

Untukmu, aku harap kamu mengerti, mengapa ku begini, mengapa ku begitu. Karena aku hanya tak ingin kamu berakhir sepertiku.

Adlea Namine

SMA Al Azhar Depok

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This