Ada Api di Dadanya

Sep 5, 2021 | Cerpen

Mata berkabut yang akrab kulihat bertahun-tahun lamanya semakin berkabut akhir-akhir ini. Tergambar jelas di wajah Ibuku seluruh cerita yang tak perlu diungkapkan. Sekuat tenaga berusaha sembunyikan lara yang mendera.

Entahlah, terbuat dari apakah hati perempuan yang kupanggil Ibu ini. Aku anak lelakinya yang menyimpan seluruh kisah tanpa jeda dalam perjalanan panjang sebagai anak polos, sebagai remaja tanggung, dan sebagai laki-laki.

Berumur sembilan tahun saat pertama kulihat bahu Ibuku bergetar di sudut kamarnya yang tak sengaja terbuka tirainya. Punggung yang membelakangiku terasa menyedihkan. Rasa yang belum kutahu namanya. Masih polos perbendaharaan emosiku saat itu. Takut mendekat. Aku melangkah perlahan mendekati Ibuku dengan ragu.

“Ibu,” suara lirih memecah suasana.

Terkejut, Ibu berusaha mengusap sesuatu di wajahnya dengan ujung bajunya. Aku yang polos belum mengerti apa itu air mata yang mengalir dari orang dewasa. Yang aku tahu, saat air mataku keluar saat terjatuh dari sepeda, kalah bermain bola, atau saat nilai raporku merah.

Kini, tak lagi kulihat air mata menetes dari pelupuk matanya. Tersembunyi rapi dalam senyuman yang selalu dipaksakan bertahun lamanya. Saat diriku remaja tanggung kulihat memar di pergelangan tangan Ibu. Tidak sengaja kulihat saat berpamitan ke sekolah. Ingin bertanya namun suaraku tercekat. Rasa sayang menahanku untuk bertanya. Sebuah pelukan kuhadirkan demi kurasakan emosi yang baru kukenal. Entah apa namanya. Kupeluk erat tubuh Ibuku, kuhirup bau tubuhnya kusimpan lama dalam labirin kenangan. Janji lelaki untuk Ibu telah terpatri sejak lama.

Aku anak lelakimu menyimpan seluruh kisahmu. Sejak ayahku mendapat posisi jabatan yang bergengsi di kantornya, Ia semakin menjauh dari kami keluarganya. Keharmonisan keluarga yang dulu kurasakan di awal kelahiranku hingga tujuh tahun sirna seketika. Kebersamaan dan kehangatan menjauh dari keluarga kami. Ketamakan membelenggu ayahku. Kami semakin tidak terlihat. Ayahku lebih perduli dengan orang lain. Demi sebuah pengakuan dan harga diri.

Kabut di mata Ibuku semakin pekat sepekat lebam di seluruh tubuhnya. Api yang kusimpan dalam dada tersimpan cukup lama. Rasa sayangku pada Ibu membuatku terdiam tidak berani bertanya, karena kutahu ini akan melukainya. Ibu terlalu menyayangiku. Demi aku ia bertahan. Berpura-pura semua baik-baik saja. Setiap luka yang mendarat di tubuh Ibuku aku tahu. Walau ia berusaha menutupinya.

Malam itu, ayahku pulang dalam kondisi mabuk berat. Ia pulang sambil meracau. Bau parfum perempuan bercampur alkohol menyeruak di ruang tamu. Lama aku tidak melihat ayah. Terakhir saat dia pergi merayakan kesuksesannya sebagai anggota dewan terhormat. Berdiri gagah pura-pura peduli dengan keluarganya. Mengapit lengan Ibuku dengan manis dan merangkulku ketika berada di gedung suci yang terhormat. Cuih, ingin muntah rasanya saat itu. Aku tidak lagi mengenalnya. Lelaki bertopeng yang menjelma menjadi monster.

Ayah berjalan sempoyongan berusaha berdiri. Limbung dan ambruk di lantai ruang tengah. Ibuku berlari merengkuhnya. Membantunya berdiri. Aku hanya diam. Berat kaki ini untuk membantunya berdiri. Ternyata aku lebih membencinya saat dia tidak berdaya. Kusaksikan Ibuku memapahnya dengan terhuyung. Tersentak diriku ketika kulihat tiba-tiba ayahku sadar dan berdiri tegak dihadapan Ibuku yang pucat.

“Dasar perempuan tidak berguna!” suara lelaki itu memecah malam yang kian menakutkan. Suara telapak tangan mendarat di pipi perempuan yang tak sempat kuselamatkan. Tubuhnya dihadiahi pukulan bertubi-tubi. Ditariknya rambutnya. Suara tubuh beradu dengan dinding menggelapkan mataku. Bergerak secepat kilat aku mengambil kursi yang ada di dekatku. Kuangkat kulemparkan penuh kebencian ke tubuh lelaki yang kupanggil ayah. Ibuku menjerit tidak terkendali. Tubuh ayahku tidak bergerak.

Aku, anak lelakimu tahu seluruh kisahmu. Saat engkau diam-diam menyelidiki gerak-gerik ayah yang mencurigakan. Pengkhianatan yang dilakukannya sangat melukaimu. Berulang kisahmu bertahun-tahun lamanya. Perempuan di hadapanku mengusap darah yang keluar dari kepala lelakinya. Lelaki yang kupanggil Ayah. Dibalurkan darahnya ke wajah secara perlahan. Diciuminya darah di tangannya.

“Darah pengkhianat sama merahnya,” suaranya lirih mengerikan. Suara asing keluar dari mulutnya.
“Tapi busuk baunya,” mata Ibuku menggelap. Tangannya yang berlumur darah diusap-usapkan ke bajunya. Berulangkali. Berteriak, berdiri menjauh. Merasa jijik dengan merahnya darah. Ibuku berlari ke kamar mandi mengguyur tubuhnya. Mata Ibuku tidak lagi berkabut.

Bojonggede, 01 September 2021

Baca Juga

1 Comment
  1. Erick

    Cerpen yang bagus. berbakat !

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This