Deru angkot bercampur debu jalan menyesakkan dada Abeng. Pemuda pojok jalan Pramuka-Waringin ini bergegas turun dari angkot sambil meneriakkan terimakasih kepada Wijil, sopir angkot karibnya.
Siang lumayan terik hari itu, Selasa Wage tahun Monyet. Uap aspal jalan segera menyergap wajah Abeng, panas menyengat. Untungnya, angin cukup berdesir kencang meredakan terik. Abeng santai berjalan ke arah gerbang Pasar Cikrak. Pasar tradisional satu-satunya di Kecamatan Cigandul. Segera Abeng disapa ramah oleh Warno, pedagang cindera mata sisi kanan muka gerbang pasar.
“Tumben lu Beng, main ke mari. Ada angin apa Beng? Kayaknya gede bener ini proyeknya,” tegur Warno menyelidik.
“Kagak ada kang Warno. Pengen ketemu kawan di dalam,” balas Abeng.
Tanpa singgah lagi, Abeng berlalu menuju gerbang pasar. Padahal, Abeng biasanya senang singgah di lapak Warno, melihat-lihat pernak pernik dagangan unik. Kadang Abeng pura-pura menanyakan harga barang antik dan aneka dagangan lainnya meski kantongnya hampir selalu tipis setiap hari.
“Beengg,,,mampiiirr…lu sombong amat!” teriak Mak Siti di sisi kiri gerbang, pedagang buah-buahan. Abeng menoleh ke arah panggilan tadi, seraya menyeringai melambaikan tangan. Semerbak aroma buah harum manis dan salak pondoh andalan Mak Siti menyerbu hidung Abeng. Terbit selera, namun Abeng kembali hanya melambaikan tangan. Mak Siti, janda beranak dua yang selalu memberi Abeng sekadar buah-buahan setiap kali jumpa. Namun Abeng selalu menanggapinya dengan dingin. Abeng, di mata Mak Siti adalah pemuda ramah berambut poni berkulit putih. Mirip bintang film laga Hongkong Jacky Çhen. Perawakan Abeng putih kekar, Mak Siti agak menggilai Abeng.
Bergegas Abeng mempercepat langkah memasuki gerbang Pasar Cikrak yang agak gelap, sambil melihat-lihat sekeliling. “Aku harus terus, ini tak bisa ditunda lagi!” pikir Abeng sambil meraba belakang pinggangnya.
Langkah Abeng menuju ujung pasar terhenti oleh cengkeraman jemari kekar di belakang bahunya.
“Mau ke mana lu Beng? tumben?” tanya Mat Beni, keamanan pasar Cikrak yang telah lama dikenalnya. Mat Beni satu-satunya sosok yang disegani Abeng di pasar itu. Dulu ketika Abeng mabuk lalu mengamuk mengobrak abrik dagangan pedagang, hanya Mat Beni yang berani maju mencengkeram leher Abeng dan menyeretnya ke pos keamanan. Tidak ada orang lain yang berani meski polisi sekalipun, karena Abeng dikenal nekat dan tak segan main tikam. Mat Beni, tokoh asal Banten dikenal mempunyai ilmu kebal bacok. Pernah dikeroyok preman daerah lain dan menang, meski dibacok berkali-kali namun tiada luka. Karenanya, Mat Beni amat diandalkan pengelola pasar untuk menjaga keamanan.
“Ah enggak bang, cuma mau ngopi di ujung,” Abeng beralasan sambil senyum ikhlas. Mat Beni yang paham Abeng kerap mampir di warkop ujung pasar hanya tersenyum kecut dan mempersilakan Abeng meneruskan langkahnya. Diam-diam, Mat Beni dengan naluri jalanannya mencium ada sesuatu yang tidak beres dengan Abeng pagi itu.
Langkah Abeng semakin cepat menembus lorong-lorong pasar. Aroma daging segar dan ayam potong serta aneka sayuran, tak membuat Abeng menghentikan langkah menyusuri lorong menuju ujung pasar. Tiba di ujung pasar tepat di sisi kiri sebelum gerbang ke luar, Jajak, Ujang, Rony dan Asmat tengah bermain gaple. Jajak, tokoh paling senior di kelompok itu terlihat oleh Abeng mengenakan akar bahar di lengan kiri dan memakai hem hitam serta blue jeans. Sepatu boot bermerk yang dibeli dari lapak loak hari itu gagah di kakinya.
Abeng mengamati dari jauh kelompok yang tengah asik bermain. Asap rokok mengepul-ngepul. Jajak yang terus diperhatikan Abeng tak menyadari jika Abeng tengah mengintai.
“Ini saatnya, dan tak boleh gagal,” gumam Abeng. Dadanya bergemuruh melihat sosok Jajak. Orang yang beberapa hari lalu mengganggu Minah kekasihnya, di kampung sebelah. Minah melaporkan tingkah mengesalkan Jajak yang telah menegurnya sambil colak colek tak sopan sepulang mengaji di surau terdekat.
“Aku tak suka dilecehkan begitu bang Abeng,” adu Minah sesenggukan, tak terima dirinya diganggu lelaki usil. Minah putri tunggal Wak Haji Leman, padagang kain Pasar Genjing.
“Ya sudah, mungkin dia tak sadar karena mabuk,” Abeng menenangkan kekasih manisnya. Abeng, meski berbeda agama dengan Minah namun amat menyayangi gadis polos jebolan SMA Al Khaerat Ciranjang Kulon. Di mata Abeng, Minah selalu memberinya masukan berharga soal agama dan perilaku hidup. Tutur kata Minah yang lembut membuat Abeng tak bisa lelap tidur, dan kerap membuat dirinya ingin pindah agama.
Sebab itulah terbit “Murka Panglima” di dada Abeng. Jago berkelahi sejak SD di kampung Pramuka. Abeng dikenal tidak pernah melewatkan perkelahian seru dengan lawannya jika diganggu. Hampir tiap momen berkelahi Abeng unggul, namun tak selalu menang jika lawannya mengeroyok hingga Abeng harus lari menjauh. Namun, enam bulan lalu Minah telah mampu melembutkan kekerasan hati Abeng.
Gemeretak gigi Abeng menahan amarah melihat sosok Jajak. Orang yang telah berani mengganggu kekasihnya. Apa-apaan, dia berani mencolek kesukaan Abeng, apa tidak tahu Minah kekasih awak? Bunyi amarah di hati Abeng. Perlahan dia dekati kelompok pemain kartu. Sejarak tiga meter, Abeng langsung mencabut sangkur kesayangan pemberian iparnya yang tugas di Timor Timur, terhunus ke arah leher Jajak.
“Mampus kamu hari ini..!!!” teriak Abeng kepada Jajak. Sangkur terhunus terangkat mengerikan di hadapan Jajak.
Jajak, yang tak menyangka diserang secepat itu oleh Abeng, tak siap. Sabetan sangkur Abeng melesat ke arah lehernya. Ada kalung perak rajawali kesayangan dikenakannya. Namun naas, sabetan sangkur itu meleset dan justru hinggap menggores pipi Ujang. Darah terpercik dari luka sayatan sangkur Abeng. Ujang yang terkejut segera melompat lari menjauh sambil memegangi pipinya yang berdarah. Tak berani dia melawan Abeng yang tengah kalap menggila.
Abeng yang kesal karena sabetan sangkurnya meleset, dengan geram cepat mengejar Jajak yang jatuh terjengkang menghindar sambil berteriak menanyakan mengapa Abeng menyerangnya.
“Berani kamu menggangu Minah!” Tak kau pandang diriku siapa!” Amarah Abeng meledak ngeri. Sangkur kembali terangkat mengincar leher Jajak. Bisa dipastikan, apabila sempat terbenam di leher, maka “lewat”lah si korban.
Jajak pias pasi mendengar amarah Abeng dan segera meminta ampun sambil berlari menghindar. Dia tahu betul jika Abeng telah mengamuk dengan sangkur kesayangannya, maka pasti berakhir di rumah sakit. Tak terasa celananya basah terkencing-kencing saking takutnya. Abeng terus mengejar sejarak dua meter. Siap menikamkan sangkur ke leher orang yang kini jadi musuh besarnya. Beberapa detik sesaat sebelum sangkur benar-benar hinggap di leher Jajak. Tiba-tiba: “Abeeeenggg!!!, lu kenapa teriak-teriak? Bangun-bangun, ayam belum diberi makan. Molor aje lu..!!!” Teriak Mak Hindun, ibu tercinta kesayangan Abeng.
Abeng terkesiap melompat bangun dari ranjang reyotnya. Keringat mengguyur, nafasnya berderu. Sangkur kesayangan telah lenyap, dan guling dipelukannya terlihat remuk redam.
Mudahnya aku tertipu. Eh mimpi di siang bolong😀