Lelaki tua itu duduk sendiri di kursi kayu bercat putih di teras rumah sambil memeluk kedua lututnya. Sorot matanya yang masih tajam asyik memperhatikan gerak-gerik Love Bird dalam sangkar yang sengaja digantungkan oleh salah satu cucunya, di ujung plafon luar rumah. “Buat hiburan Abah,” begitu kata sang cucu suatu hari. Namun terkadang sorot matanya yang tajam itu terbalut rindu. Rindu pada sosok-sosok seusianya yang telah sekian lama tak lagi menemaninya. Ya biasanya saat pagi hangat seperti ini mereka menikmat kopi panas dan bubuy singkong yang masih mengepul sambil berjemur dan bernostalgia ke masa lalu. Namun satu-satu telah berpulang mendahuluinyan kembali ke pangkuan Yang Maha Pencipta. Tinggallah kini lelaki yang telah dikaruniai 9 anak (namun 3 di antaranya meninggal dunia), 10 cucu, dan 4 cicit itu menjadi satu-satunya lelaki dengan usia selanjut itu yang masih ada di kampung kami.
Abah, demikian aku memanggil lelaki tua yang sedang duduk sendirian sambil memeluk kedua lututnya itu. Dia adalah ayahku, dulu aku memanggilnya dengan sebutan Bapa. Namun Kini kuganti dengan Abah, seperti sebutan yang biasa dipakai anak-anakku saat memanggil kakeknya itu.
Abah, lelaki berusia senja yang sarat dengan pengalaman hidup. Lelaki biasa namun bagiku sangat luar biasa. Dia juga adalah guru kehidupanku. Darinya aku banyak belajar tentang kehidupan.
Delapan puluh enam tahun dia berkelana di dunia ini. Menjelajahi masa, melewati berbagai fase kehidupan, melintasi banyak zaman sekaligus menjadi saksi sejarah yang begitu melelahkan. Lewat sorot matanya tersimpan pula beribu kisah yang telah berlalu.
Kisah pengungsiannya saat peristiwa Bandung Lautan Api yang terjadi tanggal 24 Maret 1946. Kisah pidato berapi-api Bung Karno saat presiden pertama RI itu bersama Muhamad Hatta dan Perdana Mentri India Pandit Jawaharlal Nehru singgah di lapangan Tegalega, Bandung pada 10 Juni 1950. Kisah gerombolan PKI tahun 1965. Tentang kesukaannya mendengarkan siaran pertandingan badminton yang disiarkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) dengan penyiarnya Sambas yang terkenal waktu itu. Tak ketinggalan juga kisah Kejayaan PERSIB di masa lalu ketika Ajat Sudrajat dan penjaga gawang Robbi Darwis menjadi pemain bintang Kesebelasan Maung Bandung itu, serta kisah-kisah lainnya yang berulangkali dia ceritakan kepada kami.
Perjuangan dan tempaan hidup yang keras terlukis jelas pula pada kerut kening dan garis-garis di wajahnya yang keriput. Terlahir bungsu dari tiga bersaudara yang ketiganya akhirnya tercerai berai akibat perpisahan kedua orang tuanya. Abah ikut ibu kandungnya dan sekian lama dibesarkan oleh orang tua tunggal itu. Betapa waktu itu nenek bekerja keras dengan berjualan pakaian berkeliling untuk menghidupi dirinya dan Abah yg masih kecil. Hari-hari yang dilewati Abah pun tak mudah. Untuk makan pun ia terkadang harus menyiapkan sendiri. Tak jarang pula membantu nenek menumbuk padi dan memasak nasi. Mencuci baju sendiri adalah kebiasaannya sehari-hari. Bahkan hingga kini.
Hingga akhirnya nenek pun bersuami kembali. Dan Abah Kini hidup bersama ayah tiri yang lumayan galak. Tak jarang Abah pun terkena pukul bila ayah tirinya itu sedang marah.
Ayah tirinya pun mendidiknya dengan keras pula.
Walaupun berasal dari keluarga yang cerai berai, namun Abah adalah sosok yang setia pada Emak, ibuku, hingga kini. Tak pernah sekali pun kudengar Abah menyeleweng atau berselingkuh dari Emak. Dan walaupun Abah dengan kedua kakaknya pernah hidup terpisah namun justru dialah yang kemudian jadi perekat keluarga yang telah cerai berai itu. Masih lekat dalam ingatan ketika Abah mengajakku berkeliling mengunjungi kakak-kakaknya. Mengenalkanku dengan uak-uakku beserta semua sepupuku. Mengapa Abah lebih sering mengajakku ketimbang yang lainnya? Karena kakakku sering mabuk perjalanan, sementara Emak sibuk mengurus adik-adikku yang masih kecil.
Tak jarang Abah pun membantu menyelesaikan persoalan keluarga hingga persoalan ekonomi kakaknya. Teringat kala itu Emak menyerahkan kalung kesayangannya yang pernah dibelikan Abah untuk membantu kakak Abah yang sedang kesulitan keuangan.
Rumah kami pun sering menjadi tujuan berkunjung saudara-saudara yang tinggal di luar kota. Tak heran rumah kami pun seringkali ramai bahkan bartambah ramai pula dengan kehadiran anak Uak atau bibi yang numpang tinggal atau ikut bekerja bersama Abah di bengkel.
Ya Abah memang pernah mempunyai bengkel motor khusus Vespa. Setelah sebelumnya bekerja di bengkel Vespa milik seorang Tionghoa yang biasa Abah panggil “Toke”. Lelaki Tionghoa itu sangat menyayangi Abah dan memperhatikan keluarga kami. Tak jarang sepulang kerja Abah juga dititipkan berbagai makanan atau masakan enak yang sengaja dibuat “Enci” istri Toke itu yang terkenal pintar memasak, buat kami sekeluarga. Tidak cuma itu setiap lebaran kami pun mendapat jatah pakaian baru dan bagus. Sehingga setiap lebaran kami pun tak pernah membeli baju. Selain itu anak-anak mereka pun sebaya dengan kami, sehingga baju-baju kami pun seukuran dengan baju anak-anak mereka.
Menjelang ayah pulang kerja, aku dan kakakku biasa menunggunya di ujung jalan. Saat itu pula Abah pulang dengan membawa buah tangan berupa martabak atau udang goreng tepung. Atau membawa makanan yang sengaja Enci titipkan buat kami. Kami pun sangat senang pulang ke rumah sambil menuntun tangan Abah.
Abah juga begitu menyayangi “Mamah Ingum”, ibunya. Sehingga tak hanya mebawakan oleh-oleh buat kami tetapi juga membelikan ikan pindang bandeng dan beberapa papan pete untuk Mamah Ingum.
Tak hanya manyayangi Mamah Ingum, Abah juga perhatian pada para orang tua lainnya yang masih terhitung kerabat kami. Masih lekat di benakku setiap menjelang bulan puasa dan Lebaran, Abah mengajakku ditemani pula anjing penjaga kami yang setia “Jinggo”, berkeliling menemui para orang tua itu untuk memberikan paket makanan berupa sardencis yang kalengnya berbentuk lonjong pipih, sebotol Orson , susu kaleng “tjap Nona”, gula-kopi, beserta tembakau mole_dan kertas rokok _pahpir . Menjelang Lebaran paket tersebut ditambahkan pula dengan sekaleng “Khong Guan” dan kain panjang batik beserta kebayanya.
Walaupun Abah tampak keras, namun baik juga terhadap anak-anak saudara. Terbukti mereka pun sangat menghormati Abah dan memanggilnya dengan sebutan “Uak Aden”.
Setelah sekian lama bekerja di Toke pemilik bengkel itu, Abah berkeinginan mandiri dan mendirikan bengkel Vespa sendiri. Saat itu Abah termasuk montir kesayangan Toke karena piawai memperbaiki Vespa dibandingkan montir lainnya. Tak heran saat Abah menyampaikan maksudnya Toke pun merasa keberatan. Namun Abah keukeuh ingin mandiri dan keluar dari bengkel itu. Maka sejak tahun1980an hingga tahun 2000an Abah mempunyai bengkel Vespa sendiri. Mulanya menyewa tempat dekat dengan SDku, namun kemudian pindah di samping rumah.
Walaupun letak bengkel itu bukan di pinggir jalan besar, namun Alhamdulillah ramai dikunjungi. Mungkin karena waktu itu bengkel khusus Vespa masih sangat jarang. Hingga akhirnya Abah pun dikenal di mana-mana terutama bagi yang memiliki motor Vespa.
Kini Abah pun mulai sibuk, tak ada lagi hari libur. Hari Minggu justru hari paling ramai dikunjungi orang yang akan memperbaiki Vespa. Dan itu hanya Abah yang mengerjakannya sendiri. Abah montir merangkap pemilik bengkel. Sekaligus belanja orderdil pun dikerjakan sendiri.
Sebenarnya Abah ingin juga memiliki seorang asisten untuk itulah beberapa anak saudara yang masih menganggur sering diajak membantu di bengkel. Tapi sepertinya belum ada yang cocok jadi asistennya. Abah seorang perfeksionis, bukan hal yang mudah mempercayakan pekerjaannya pada orang lain. Abah juga tidak mau mengecewakan pelanggannya.
Jadilah keseharian Abah kini bergumul dengan oli dan bensin. Karena sehariannya bergaul dengan oli dan bensin itulah saat Abah pulang berhaji tahun 1994 mengganti namanya dengan Haji Solihin, Haji oli dan bensin. Begitu kelakar Abah. Entah betul atau cuma kelakar Abah, tapi yang jelas hingga kini Abah dikenal juga dengan nama Haji Solihin.
Satu hal yang tidak Abah lakukan hingga kini yakni menggunakan jasa perbankan. Abah tidak pernah menabung di bank. Uangnya cukup ia simpan di lemari. Kalaupun ada rezeki lebih maka uang itu Abah belikan tanah atau sawah. Sehingga waktu mendaftar Haji pun Abah dan Emak menggunakan uang hasil penjualan sawah.
Abah juga Emak tidak suka berhutang. Kalau pun berhutang Maka segera mereka pun melunasinya. Maka kami pun bersyukur karena kami tidak memiliki hutang terlebih berhutang pada bank.
Namun sebagai orang biasa Abah juga banyak kekurangannya. Suka ngambek sama Emak jika istrinya itu tidak menyediakan makanan yang disukainya. Abah memang pilih-pilih dalam hal makanan. Jangan harap dimakan jika makanan itu tidak disukainya. Abah juga poksang atau sangat terus terang jika berbicara sehingga kadang kata-katanya walau pun benar sering bikin orang tersinggung. Terkadang Abah pemarah juga. Pernah suatu kali ketika aku rebutan radio dengan adikku. Karena berisik dan mengganggu Abah yang sedang bekerja, saat itu juga Abah langsung masuk rumah dan radio itu direbutnya dari kami lalu dibantingnya dan “prang!” radio itu pun hancur berantakan. Kami pun menangis sementara Abah kembali melanjutkan pekerjaannya.
Namun itu dulu. Kini Abah senantiasa berusaha tegar dan kuat di depan kami seperti halnya dulu saat ia bertahan dan mampu melewati rintangan kehidupan. Usianya pun kini terus menua. Tak lagi bekerja sebagai montir dan tidak pula memiliki bengkel lagi. Dan akibat sering menghirup asap knalpot dan kalbulator dulu saat masih jadi montir terasakan sekarang, Abah sering mengalami sesak nafas.
Dan penyakitnya itu tak mau kompromi sehingga membuat Abah tampak ringkih dengan nafas yg pendek-pendek. Ditambah lagi pendengarannya pun sudah berkurang sehingga kami mesti bersuara keras jika berbicara dengannya. Tapi Alhamdulillah Abah masih dianugrahi daya ingat yang bagus sehingga masih mengingat dengan baik tempat-tempat yang pernah dikunjunginya berikut nama jalan yang pernah dilewatinya.
Sekali pun begitu Abah sering lupa dengan keadaannya kini. Ia masih menganggap dirinya masih sekuat dulu sehingga bisa bergerak ke mana- mana dan mengerjakan apa yang dia suka.
Seperti hari itu, saat aku mengunjunginya. Waktu itu hujan turun bersamaan dengan waktu adzan maghrib. Kami pun bersegera mengambil wudhu, tak terkecuali Abah. Namun setelah berwudhu Abah bergegas menuju pintu keluar. “Kemana Bah?”Tanyaku dengan suara keras. “Mariksa solokan hareup sok mampet ku runtah”. (memeriksa selokan depan yang sering mampet karena sampah) Katanya sambil membuka pintu dan keluar. Begitulah Abah sering tidak tahan dengan sesuatu yang dianggapnya bisa merugikan orang banyak. Tanpa memikirkan kondisinya sendiri, padahal jika cuaca dingin apalagi sampai kehujanan penyakit sesaknya bisa kambuh.
Tak hanya itu, Abah juga sering nekad memperbaiki genting yang bocor dengan naik ke para(bagian rumah antara langit-langit dan atap) rumah. Padahal ada tukang yang bisa di suruh. Alasannya karena Abah tak mau nunggu lama-lama, genting bocor harus segera diperbaiki sebelum hujan turun. Kalau sudah begitu, Emaklah yang panik. Karena setelah itu sesaknya pun kambuh akibat kelelahan naik turun para rumah.
Tak cuma itu, seringkali Abah juga tiba-tiba menghilang. Hingga bikin panik dan khawatir semua orang. Seperti kejadian beberapa bulan lalu. Aku dikabari adik bahwa Abah pergi diam -diam dan entah kemana. Tentu saja aku pun panik dibuatnya. Bayangkan Abah itu kalau pergi tidak pernah bawa hand phone sehingga kami akan sulit menghubungi untuk untuk menanyakan keberadaannya. Aku pun khawatir jika terjadi sesuatu di jalan mengingat penyakit sesaknya itu yang bisa kambuh kapan dan di mana saja. Abah juga kurang mendengar. Apalagi saat itu masih masa PPKM, banyak pembatasan jalan di mana-mana dan aktifitas orang pun dibatasi pula. Kami pun terus mencari ke tempat-tempat yang biasa Abah kunjungi tapi hasilnya nihil.
“Ah ken baelah engke oge si Abah mah balik deui sorangan (Ah sudahlah biarlah nanti juga si Abah pulang lagi dengan sendirinya)!” Kata Emak akhirnya. Rupanya ibuku sudah hafal dengan tabiat suaminya itu. Betul saja tak lama kemudian alhamdulillah Abah kembali. Walaupun dengan wajah memerah karena panas tapi tampaknya dia senang. Dia pun mulai cerita dengan antusias. Katanya tadi pagi diam-diam dia pergi ke terminal Leuwi Panjang tujuannya ingin ke rumah adikku yang kedua dengan naik bus kota DAMRI. Tapi ternyata bus yang ditunggu tak kunjung tiba karena saat PPKM angkutan umum pun dibatasi termasuk bus kota. Akhirnya Abah berkeliling melihat-lihat terminal sambil mengobrol dengan pedagang di sekitar terminal. Setelah siang dan hari mulai panas, Abah pun pulang ke rumah dengan naik angkot. Kami pun akhirnya lega pula karena tidak terjadi sesuatu yang kami khawatirkan. Untunglah kemana-mana Abah pun mengenakan masker, tidak lupa juga memakai topi dan jaket sehingga badannya terlindungi.
Selesai.
Demikian sepenggal kisah untuk memperingati “Hari Ayah”. Selamat Hari Ayah bagi semua lelaki tangguh seperti ayahku š
0 Comments